Monday, March 26, 2007

Los Felidas


Los Felidas
Oleh: Tidak Diketahui Kiriman: Leonard Ticualu

Los Felidas adalah nama sebuah jalan di ibu kota sebuah negara di Amerika Selatan, yang terletak di kawasan terkumuh di seluruh kota. Ada sebuah kisah Natal yang menyebabkan jalan itu begitu dikenang orang, dan itu dimulai dari kisah seorang pengemis wanita yang juga ibu seorang gadis kecil. Tidak seorangpun yang tahu nama aslinya, tapi beberapa orang tahu sedikit masa lalunya, yaitu bahwa ia bukan penduduk asli disitu, melainkan dibawa oleh bekas suaminya dari kampung halamannya.

Seperti kebanyakan kota besar di dunia ini, kehidupan masyarakat kota terlalu berat untuk mereka, dan belum setahun mereka di kota itu, mereka kehabisan seluruh uangnya, dan pada suatu pagi mereka sadar bahwa mereka tidak tahu dimana mereka tidur malam nanti dan tidak sepeserpun uang ada di kantong. Padahal mereka sedang menggendong bayi mereka yang berumur 1 tahun. Dalam keadaan panik dan putus asa, mereka berjalan dari satu jalan ke jalan lainnya, dan akhirnya tiba di sebuah jalan sepi dimana puing-puing sebuah toko seperti memberi mereka sedikit tempat untuk berteduh.

Saat itu angin Desember bertiup kencang, membawa titik-titik air yang dingin. Ketika mereka beristirahat dibawah atap toko itu, sang suami berkata: Saya harus meninggalkan kalian sekarang. Saya harus mendapatkan pekerjaan, apapun, kalau tidak malam nanti kita akan tidur disini.? Setelah mencium bayinya ia pergi. Dan ia tidak pernah kembali. Tak seorangpun yang tahu pasti kemana pria itu pergi, tapi beberapa orang seperti melihatnya menumpang kapal yang menuju ke Afrika.

Selama beberapa hari berikutnya sang ibu yang malang terus menunggu kedatangan suaminya, dan bila malam tidur diemperan toko itu. Pada hari ketiga, ketika mereka sudah kehabisan susu, orang-orang yang lewat mulai memberi mereka uang kecil, dan jadilah mereka pengemis disana selama 6 bulan berikutnya.

Pada suatu hari, tergerak oleh semangat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, ibu itu bangkit dan memutuskan untuk bekerja. Masalahnya adalah dimana ia harus menitipkan anaknya, yang kini sudah hampir 2 tahun, dan tampak amat cantik jelita. Tampaknya tidak ada jalan lain kecuali meninggalkan anak itu disitu dan berharap agar nasib tidak memperburuk keadaan mereka. Suatu pagi ia berpesan pada anak gadisnya, agar ia tidak kemana-mana, tidak ikut siapapun yang mengajaknya pergi atau menawarkan gula-gula.

Pendek kata, gadis kecil itu tidak boleh berhubungan dengan siapapun selama ibunya tidak ditempat. Dalam beberapa hari mama akan mendapatkan cukup uang untuk menyewa kamar kecil yang berpintu, dan kita tidak lagi tidur dengan angin dirambut kita.? Gadis itu mematuhi pesan ibunya dengan penuh kesungguhan. Maka sang ibu mengatur kotak kardus dimana mereka tinggal selama 7 bulan agar tampak kosong, dan membaringkan anaknya dengan hati-hati, didalamnya, disebelahnya ia meletakkan sepotong roti, kemudian, dengan mata basah ibu menuju ke pabrik sepatu, dimana ia bekerja sebagai pemotong kulit.

Begitulah kehidupan mereka selama beberapa hari, hingga dikantong sang ibu kini terdapat cukup uang untuk menyewa sebuah kamar berpintu didaerah kumuh. Dengan suka cita ia menuju kepenginapan orang-orang miskin itu, dan membayar uang muka sewa kamarnya. Tapi siang itu juga sepasang suami istri pengemis yang moralnya amat rendah menculik gadis cilik itu dengan paksa, dan membawanya sejauh 300 kilometer kepusat kota. Disitu mereka mendandani gadis cilik itu dengan baju baru, membedaki wajahnya, menyisir rambutnya dan membawanya kesebuah rumah mewah di pusat kota. Disitu gadis cilik itu dijual.

Pembelinya adalah pasangan suami istri dokter yang kaya, yang tidak pernah bisa punya anak sendiri walaupun mereka telah menikah selama 18 tahun. Mereka memberi nama anak gadis itu Serrafona, dan mereka memanjakannya dengan amat sangat. Ditengah-tengah kemewahan istana itulah gadis kecil itu tumbuh dewasa. Ia belajar kebiasaan-kebiasaan orang terpelajar seperti merangkai bunga, menulis puisi dan bermain piano. Ia bergabung dengan kalangan-kalangan kelas atas, dan mengendarai Mercedes Benz kemanapun ia pergi.

Satu hal yang baru terjadi menyusul hal lainnya, dan bumi terus berputar tanpa kenal istirahat. Pada umurnya yang ke-24, Serrafona dikenal sebagai anak gadis Gubernur yang amat jelita, yang pandai bermain piano, yang aktif di gereja, dan yang sedang menyelesaikan gelar dokternya. Ia adalah figur gadis yang menjadi impian tiap pemuda, tapi cintanya direbut oleh seorang dokter muda yang welas asih,yang bernama Geraldo.

Setahun setelah perkawinan mereka, ayahnya wafat, dan Serrafona beserta suaminya mewarisi beberapa perusahaan dan sebuah real-estate sebesar 14 hektar yang diisi dengan taman bunga dan istana yang paling megah di kota itu. Menjelang hari ulang tahunnya yang ke-27, sesuatu terjadi yang merubah kehidupan wanita itu. Pagi itu Serrafona sedang membersihkan kamar mendiang ayahnya yang sudah tidak pernah dipakai lagi, dan dilaci meja kerja ayahnya ia melihat selembar foto seorang anak bayi yang digendong sepasang suami istri.

Selimut yang dipakai untuk menggendong bayi itu lusuh, dan bayi itu sendiri tampak tidak terurus, karena walaupun wajahnya dilapisi bedak tetapi rambutnya tetap kusam. Sesuatu ditelinga kiri bayi itu membuat jantungnya berdegup kencang. Ia mengambil kaca pembesar dan mengkonsentrasikan pandangannya pada telinga kiri itu. Kemudian ia membuka lemarinya sendiri, dan mengeluarkan sebuah kotak kayu mahoni. Didalam kotak yang berukiran indah itu dia menyimpan seluruh barang-barang pribadinya, dari kalung-kalung berlian hingga surat-surat pribadi. Tapi diantara benda-benda mewah itu sesuatu terbungkus kapas kecil, sebentuk anting-anting melingkar yang amat sederhana, ringan dan bukan emas murni. Ibunya almarhum memberinya benda itu sambil berpesan untuk tidak kehilangan benda itu. Ia sempat bertanya, kalau itu anting-anting, dimana satunya. Ibunya menjawab bahwa hanya itu yang ia punya. Serrafona menaruh anting-anting itu didekat foto. Sekali lagi ia mengerahkan seluruh kemampuan melihatnya dan perlahan-lahan air matanya berlinang. Kini tak ada keragu-raguan lagi bahwa bayi itu adalah dirinya sendiri. Tapi kedua pria wanita yang menggendongnya, yang tersenyum dibuat-buat, belum penah dilihatnya sama sekali.

Foto itu seolah membuka pintu lebar-lebar pada ruangan yang selama ini mengungkungi pertanyaan-pertanyaannya, misalnya: kenapa jenis wajahnya dan wajah kedua orang tuanya berbeda, kenapa ia tidak menuruni golongan darah ayahnya. Saat itulah, sepotong ingatan yang sudah seperempat abad terpendam, berkilat dibenaknya, bayangan seorang wanita membelai kepalanya dan mendekapnya didada. Diruangan itu mendadak Serrafona merasakan betapa dinginnya sekelilingnya tetapi ia juga merasa betapa hangatnya kasih sayang dan rasa aman yang dipancarkan dari dada wanita itu.

Ia seolah merasakan mendengar lewat dekapan itu bahwa daripada berpisah lebih baik mereka mati bersama. Matanya basah ketika ia keluar dari kamar dan menghampiri suaminya yang sedang membaca koran: Geraldo, saya adalah anak seorang pengemis, dan mungkin ibu saya masih ada dijalan sekarang setelah 25 tahun.?

Itu adalah awal dari kegiatan baru mereka mencari masa lalu Serrafonna. Foto hitam-putih yang kabur itu diperbanyak puluhan ribu lembar dan disebar keseluruh jaringan kepolisian diseluruh negeri. Sebagai anak satu-satunya dari bekas pejabat yang cukup berpengaruh di kota itu, Serrafonna mendapatkan dukungan dari seluruh kantor kearsipan, kantor surat kabar dan kantor catatan sipil. Ia membentuk yayasan-yayasan untuk mendapatkan data dari seluruh panti-panti orang jompo dan badan-badan sosial diseluruh negeri dan mencari data tentang seorang wanita. Bulan demi bulan lewat, tapi tak ada perkembangan apapun dari usahanya. Mencari seorang wanita yang mengemis 25 tahun yang lalu dinegeri dengan populasi 90 juta bukan sesuatu yang mudah. Tapi Serrafona tidak punya pikiran untuk menyerah. Dibantu suaminya yang begitu penuh pengertian, mereka terus menerus meningkatkan pencaharian mereka. Kini, tiap kali bermobil, mereka sengaja memilih daerah-daerah kumuh, sekedar untuk lebih akrab dengan nasib baik. Terkadang ia berharap agar ibunya sudah almarhum sehingga ia tidak terlalu menanggung dosa mengabaikannya selama seperempat abad.

Tetapi ia tahu, entah bagaimana, bahwa ibunya masih ada, dan sedang menantinya sekarang. Ia memberitahu suaminya keyakinan itu berkali-kali, dan suaminya mengangguk-angguk penuh pengertian. Saat itu waktu sudah memasuki masa Natal. Seluruh negeri bersiap untuk menyambut hari kelahiran Kristus, dan bahkan untuk kasus Serrafona-pun orang tidak lagi menaruh perhatian utama. Melihat pohon-pohon terang mulai menyala disana-sini, mendengar lagu-lagu Natal mulai dimainkan ditempat-tempat umum, Serrafona menjadi amat sedih.

Pagi siang dan sore ia mengambil rosarionya dan berdoa: Tuhan, saya bukannya tidak berniat merayakan hari lahirmu, tapi ijinkan saya untuk satu permintaan terbesar dalam hidup saya: temukan saya dengan ibu saya.?

Tuhan mendengarkan doa itu. Suatu sore mereka menerima kabar bahwa ada seorang wanita yang mungkin bisa membantu mereka menemukan ibunya. Tanpa membuang waktu, mereka terbang ketempat itu, sebuah rumah kumuh di daerah lampu merah, 600 km dari kota mereka. Sekali melihat, mereka tahu bahwa wanita yang separoh buta itu, yang kini terbaring sekarat, adalah wanita di dalam foto. Dengan suara putus-putus, wanita itu mengakui bahwa ia memang pernah mencuri seorang gadis kecil ditepi jalan, sekitar 25 tahun yang lalu. Tidak banyak yang diingatnya, tapi diluar dugaan ia masih ingat kota dan bahkan potongan jalan dimana ia mengincar gadis kecil itu dan kemudian menculiknya. Serrafona memberi anak perempuan yang menjaga wanita itu sejumlah uang, dan malam itu juga mereka mengunjungi kota dimana Serrafonna diculik.

Mereka tinggal disebuah hotel mewah dan mengerahkan orang-orang mereka untuk mencari nama jalan itu. Semalaman Serrafona tidak bisa tidur. Untuk kesekian kalinya ia bertanya-tanya kenapa ia begitu yakin bahwa ibunya masih hidup sekarang, dan sedang menunggunya, dan ia tetap tidak tahu jawabannya. Dua hari lewat tanpa kabar. Pada hari ketiga, pukul 18:00 senja, mereka menerima telepon dari salah seorang staff mereka.

"Tuhan maha kasih, Nyonya, kalau memang Tuhan mengijinkan, kami mungkin telah menemukan ibu Nyonya. Hanya cepat sedikit, waktunya mungkin tidak banyak lagi."

Mobil mereka memasuki sebuah jalanan yang sepi, dipinggiran kota yang kumuh dan banyak angin. Rumah-rumah disepanjang jalan itu tua-tua dan kusam. Satu dua anak kecil tanpa baju bermain-main ditepi jalan. Dari jalanan pertama, mobil berbelok lagi kejalanan yang lebih kecil, kemudian masih belok lagi kejalanan berikutnya yang lebih kecil lagi. Semakin lama mereka masuk ke dalam, tubuh Serrrafona gemetar, ia seolah bisa mendengar panggilan itu. Lekas, Serrafonna, mama menunggumu, sayang.

Ia mulai berdoa: Tuhan beri saya setahun untuk melayani mama. Saya akan melakukan apa saja.

Ketika mobil berbelok memasuki jalan yang lebih kecil, dan ia bisa membaui kemiskinan yang amat sangat, ia berdoa: Tuhan beri saya sebulan saja.

Mobil belok lagi kejalanan yang lebih kecil, dan angin yang penuh derita bertiup, berebut masuk melewati celah jendela mobil yang terbuka. Ia mendengar lagi panggilan mamanya, dan ia mulai menangis: Tuhan, kalau sebulan terlalu banyak, cukup beri kami seminggu untuk saling memanjakan.

Ketika mereka masuk belokan terakhir, tubuhnya menggigil begitu hebat sehingga Geraldo memeluknya erat-erat. Jalan itu bernama Los Felidas. Panjangnya sekitar 180 meter dan hanya kekumuhan yang tampak dari sisi ke sisi, dari ujung keujung. Ditengah-tengah jalan itu, didepan puing-puing sebuah toko, tampak onggokan sampah dan kantong-kantong plastik, dan ditengah-tengahnya, terbaring seorang wanita tua dengan pakaian sehitam jelaga, tidak bergerak-gerak.Mobil mereka berhenti diantara 4 mobil mewah lainnya dan 3 mobil polisi. Dibelakang mereka sebuah ambulans berhenti, diikuti empat mobil rumah sakit lain. Dari kanan kiri muncul pengemis-pengemis yang segera memenuhi tempat itu.

"Belum bergerak dari tadi." Lapor salah seorang.

Pandangan Serrafona gelap tapi ia menguatkan dirinya untuk meraih kesadarannya dan turun. Suaminya dengan sigap sudah meloncat keluar, memburu ibu mertuanya.

"Serrafona, kemari cepat! Ibumu masih hidup, tapi kau harus menguatkan hatimu."

Serrafona memandang tembok dihadapannya, dan ingat saat ia menyandarkan kepalanya kesitu. Ia memandang lantai dikakinya dan ingat ketika ia belajar berjalan. Ia membaui bau jalanan yang busuk, tapi mengingatkannya pada masa kecilnya. Air matanya mengalir keluar ketika ia melihat suaminya menyuntikkan sesuatu ketangan wanita yang terbaring itu dan memberinya isyarat untuk mendekat.

Tuhan, ia meminta dengan seluruh jiwa raganya, beri kami sehari, Tuhan, biarlah saya membiarkan mama mendekap saya dan memberinya tahu bahwa selama 25 tahun ini hidup saya amat bahagia. Jadi mama tidak menyia-nyiakan saya. Ia berlutut dan meraih kepala wanita itu ke dadanya. Wanita tua itu perlahan membuka matanya dan memandang keliling, ke arah kerumunan orang-orang berbaju mewah dan perlente, kearah mobil-mobil yang mengkilat dan kearah wajah penuh air mata yang tampak seperti wajahnya sendiri ketika ia masih muda.

"Mama...." ia mendengar suara itu, dan ia tahu bahwa apa yang ditunggunya tiap malam - antara waras dan tidak - dan tiap hari - antara sadar dan tidak? kini menjadi kenyataan.

Ia tersenyum, dan dengan seluruh kekuatannya menarik lagi jiwanya yang akan lepas. Perlahan ia membuka genggaman tangannya, tampak sebentuk anting-anting yang sudah menghitam. Serrafona mengangguk, dan tanpa perduli sekelilingnya ia berbaring di atas jalanan itu dan merebahkan kepalanya didada mamanya.

"Mama. Saya tinggal di istana dan makan enak tiap hari. Mama jangan pergi dulu. Apapun yang mama mau bisa kita lakukan bersama-sama. Mama ingin makan, ingin tidur, ingin bertamasya, apapun bisa kita bicarakan. Mama jangan pergi dulu... Mama..."

Ketika telinganya menangkap detak jantung yang melemah, ia berdoa lagi kepada Tuhan: Tuhan maha pengasih dan pemberi, Tuhan..... satu jam saja..... satu jam saja.....

Tapi dada yang didengarnya kini sunyi, sesunyi senja dan puluhan orang yang membisu. Hanya senyum itu, yang menandakan bahwa penantiannya selama seperempat abad tidak berakhir sia-sia.

Friday, March 16, 2007

Kisah Tauladan

Anak Kecil Penjual Kue
Oleh: Tidak Diketahui
Seorang pemuda yang sedang lapar pergi menuju restoran jalanan dan iapun menyantap makanan yang telah dipesan. Saat pemuda itu makan datanglah seorang anak kecil laki-laki menjajakan kue kepada pemuda tersebut, "Pak, mau beli kue, Pak?"
Dengan ramah pemuda yang sedang makan menjawab "Tidak, saya sedang makan".
Anak kecil tersebut tidaklah berputus asa dengan tawaran pertama. Ia tawarkan lagi kue setelah pemuda itu selesai makan, pemuda tersebut menjawab "Tidak dik, saya sudah kenyang".
Setelah pemuda itu membayar ke kasir dan beranjak pergi dari warung kaki lima, anak kecil penjaja kue tidak menyerah dengan usahanya yang sudah hampir seharian menjajakan kue buatan bunda. Mungkin anak kecil ini berpikir "Saya coba lagi tawarkan kue ini kepada bapak itu, siapa tahu kue ini dijadikan oleh-oleh buat orang dirumah".
Ini adalah sebuah usaha yang gigih membantu ibunda untuk menyambung kehidupan yang serba pas-pasan ini. Saat pemuda tadi beranjak pergi dari warung tersebut anak kecil penjaja kue menawarkan ketiga kali kue dagangan.
"Pak mau beli kue saya?"
Pemuda yang ditawarkan jadi risih juga untuk menolak yang ketiga kalinya, kemudian ia keluarkan uang Rp. 1.500,00 dari dompet dan ia berikan sebagai sedekah saja.
"Dik ini uang saya kasih, kuenya nggak usah saya ambil, anggap saja ini sedekahan dari saya buat adik".
Lalu uang yang diberikan pemuda itu ia ambil dan diberikan kepada pengemis yang sedang meminta-minta. Pemuda tadi jadi bingung, lho ini anak dikasih uang kok malah dikasih kepada orang lain.
"Kenapa kamu berikan uang tersebut, kenapa tidak kamu ambil?"
Anak kecil penjaja kue tersenyum lugu menjawab, "Saya sudah berjanji sama ibu dirumah ingin menjualkan kue buatan ibu, bukan jadi pengemis, dan saya akan bangga pulang kerumah bertemu ibu kalau kue buatan ibu terjual habis. Dan uang yang saya berikan kepada ibu hasil usaha kerja keras saya. Ibu saya tidak suka saya jadi pengemis".
Pemuda tadi jadi terkagum dengan kata-kata yang diucapkan anak kecil penjaja kue yang masih sangat kecil buat ukuran seorang anak yang sudah punya etos kerja bahwa "kerja itu adalah sebuah kehormatan", kalau dia tidak sukses bekerja menjajakan kue, ia berpikir kehormatan kerja dihadapan ibunya mempunyai nilai yang kurang, dan suatu pantangan bagi ibunya, anaknya menjadi pengemis, ia ingin setiap ia pulang kerumah ibu tersenyum menyambut kedatangannya dan senyuman bunda yang tulus ia balas dengan kerja yang terbaik dan menghasilkan uang.
Kemudian pemuda tadi memborong semua kue yang dijajakan lelaki kecil, bukan karena ia kasihan, bukan karena ia lapar tapi karena prinsip yang dimiliki oleh anak kecil itu "kerja adalah sebuah kehormatan" ia akan mendapatkan uang kalau ia sudah bekerja dengan baik.
Semoga cerita di atas bisa menyadarkan kita tentang arti pentingnya kerja. Bukan sekadar untuk uang semata... Jangan sampai mata kita menjadi "hijau" karena uang sampai akhirnya melupakan apa arti pentingnya kebanggaan profesi yang kita miliki. Sekecil apapun profesi itu, kalo kita kerjakan dengan sungguh-sungguh, pastilah akan berarti besar...

Cintai Apa Yang Anda Kerjakan, Atau Kerjakan Hal Yang Lain
Oleh: Tidak Diketahui
Kiriman: Lesmana, Azallea

Kesuksesan dalam bentuknya yang tertinggi dan termulia melibatkan ketenangan pikiran, kesukaan, dan kebahagiaan.
Kesuksesan datang ketika Anda menemukan pekerjaan yang Anda sangat sukai.
Jika Anda menikmati apa yang Anda kerjakan, kesuksesan adalah milik Anda.
Jika Anda tidak menikmati apa yang Anda kerjakan, Anda tidak akan menjadi sukses.
Mencintai pekerjaan Anda akan merubah segalanya.
Pekerjaan adalah kasih yang dinyatakan.
Anda tidak akan pernah meraih kesuksesan yang sejati kecuali Anda menyukai apa yang Anda kerjakan.
Kesempatan Anda untuk kesuksesan akan sama dengan jumlah kenikmatan yang Anda peroleh dalam pekerjaan Anda.
Jika Anda memiliki pekerjaan yang Anda tidak sukai, hadapilah hal itu dan keluarlah.
Pekerjaan adalah hadiah, bukan hukuman.
Anda tidak membayar harga sebuah kesuksesan.
Anda menikmati harga sebuah kesuksesan.

Layanan Pelanggan
Oleh: Michael T. Burcon
Sumber: A Cup of Chicken Soup for The Soul
Editor: Jack Canfield, dkk.
Segala-galanya yang aku ketahui tentang urusan menjual aku pelajari dari ayahku, Walt, pada suatu sore di toko mebelnya di New Era, Michigan. Waktu itu umurku 12 tahun. Ketika aku sedang menyapu lantai, seorang eanita setengah umur masuk ke toko. Aku meminta kepada ayah apakah aku boleh melayaninya.
"Tentu saja boleh," jawab ayah.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanyaku menawarkan pelayanan.
"Ya, ada - anak muda. Saya membeli sofa di toko ini dan sekarang kakinya lepas. Saya ingin tahu, kapan kalian bisa membetulkannya."
"Kapan anda membelinya, nyonya?"
"Sekitar sepuluh tahun yang lalu"
Kukatakan pada ayah bahwa wanita itu mengira kami akan membetulkan sofa tuanya secara gratis. Ayah mengatakan agar memberi tahu wanita itu bahwa kami akan datang siang nanti.
Kami datang ke rumah wanita itu. Setelah menyekrupkan kaki yang baru ke sofanya, kami pergi lagi.
Dalam perjalanan pulang, ayah bertanya, "Apa yang sedang kau pikirkan, nak?"
"Ayah khan tahu, aku ingin kuliah. Jika kita selalu saja berkeliling membetulkan sofa-sofa tua secara gratis, lama-kelamaan bisa bangkrut kita nanti!"
"Kau kuajak karena memang kau perlu belajar melakukan pekerjaan perbaikan. Selain itu, urusan paling penting terlepas dari perhatianmu. Kau tidak melihat nama toko ketika kita membalikkan sofa tadi. Wanita itu membelinya di toko 'Sears'."
"Maksud ayah, kita mengerjakan perbaikan tadi secara gratis, sementara wanita itu sama sekali bukan pelanggan kita?"
Sambil menatapku, ayah berkata, "Sekarang ia menjadi pelanggan kita."
Dua hari kemudian, wanita setengah umur itu datang lagi ke toko kami dan aku melayaninya. Ia membeli mebel baru seharga beberapa ribu dollar. Ketika kami datang di rumahnya untuk mengantar barang itu, ia meletakkan sebuah guci besar yang penuh dengan uang dollar, satuan, limaan, puluhan, dua puluhan, lima puluhan dan ratusan, di atas meja dapur.
"Ambil saja sendiri senilai mebel yang saya beli," katanya lalu keluar.
Sejak hari itu sudah 30 tahun lamanya aku bekerja sebagai tenaga sales. Aku selalu berhasil mencapai nilai keberhasilan transaksi tertinggi di setiap perusahaan yang kuwakili, karena aku tidak pernah meremehkan pelanggan.

semua tentang cinta

semua tentang cinta
Keluarga juga bisa disebut sahabat,sahabat yg sangat dekat dengan kita dan mengerti apa yg dirasakan satu sama lain...disaat kita merasa duka,suka cinta dan gembira keluarga lah yg dengan penuh rasa kasih sayang memberikan semangat untuk kita...(heheh sok Puitis) ini keluarga ku tercinta...dah ah jgn di baca maulu...